PERPUSTAKAAN SEBAGAI PUSAT SUMBER BELAJAR
PERPUSTAKAAN SEBAGAI PUSAT SUMBER BELAJAR
Tanggal: Rabu - 19 - Juni - 2013
Topik: Umum
PENGANTAR
Naskah berikut ini tidak dimaksudkan sebagai makalah akademik mengenai perpustkaan, melainkan lebih sebagai suatu pusat pembelajaran (learning center). Dalam naskah ini tidak dibahas organisasi dan fungsi perpustakaan yang bersifat khusus, seperti perpustakaan yang melekat tanpa penyelenggaraan berbagai jenjang pendidikan, perpustakaan nasional, perpustakaan wilayah, perpustakaan umum, perpustakaan asosiasi profesional dan perpustakaan yang bersifat spesifik lainnya. Perhatian lebih ditujukan pada kemungkinan penyelenggaraan perpustakaan di berbagai daerah pemukiman, terutama yang warganya sangat membutuhkan sarana dan sumber belajar, bukan saja untuk berusaha meningkatkan taraf kecerdasannya, melainkan juga untuk memperbaiki mutu perikehidupannya.
di samping itu untuk menggalakkan agar masyarakat gemar membaca, ya membaca apa saja yang penting dapat meningkatkan pengetahuannya.
Banyak kawasan yang sangat memerlukan dukungan perpustakaan untuk
memperbaiki kualitas hidup warganya. Untuk keperluan itu tidak cukup
hanya tersedia sekolah-sekolah yang menampung anak-anak usia sekolah,
melainkan diperlukan juga tersedianya bahan pustaka yang efektif
sebagai sumber belajar bagi populasinya yang tidak (lagi) bersekolah
dan sebagai orang dewasa telah menjadi andalah pencari nafkah bagi
keluarganya. Kita semua maklum bahwa ketertinggalan suatu masyarakat
terutama disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: ketidaktahuan,
kemiskinan, dan penyakit (ignorence, poverty and disease). Ketiga
faktor berkaitan erat satu sama lain, dan dalam usaha untuk
menaggulanginya biasanya diutamakan berbagai ikhtiar yang ditujukan
pada teratasinya faktor ignorasi, seperti antara lain program
pemberantasan butahuruf, disusul dengan penyelenggaraan sekolah-sekolah
dan kursus-kursus. Berbagai ikhtiar tersebut ditujukan pada
meningkatnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat
ybs; singkatnya, tindakan untuk mengatasi ketertinggalan sesuatu
masyarakat biasanya dimulai dengan ikhtiar untuk meningkatkan
kecerdasannya. Dengan meningkatnya kecerdasan masyarakat maka meluas
pula cakrawala pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Perpustakaan merupakan salah satu di antara sarana dan sumber
belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka
bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari
secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan
pustaka yang secara individual dapat digumuli oleh peminatnya
masing-masing. Tersedianya beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap
orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya, dan
kalau warga masyarakat itu masing-masing menambah pengetahuannya
melalui pustaka pilihannya, maka akhirnya merata pula peningkatan taraf
kecerdasan masyarakat itu. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu
perikehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh meningkatnya taraf
kecerdasan warganya, maka kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan
kemasyarakatan niscaya turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi
ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan.
Kiranya tidak perlu diperbincangkan lagi bahwa ‘baca-tulis-hitung’
itu merupakan kemampuan dasar yang menjadi andalan bagi upaya
peningkatan kecerdasan manusia. Bahkan lebih dari hanya meningkatkan
kecerdasannya, kemampuan dasar t ersebut merupakan pendukung utama bagi
perkembangan peradaban manusia. Sejarah mencatat, betapa peradaban
manusia cenderung menjulang tatkala mendapat dukungan dari perkembangan
tiga kemampuan dasar itu manusia memperluas cakrawala wawasannya dan
seiring dengan itu juga semakin kaya dengan berbagai ikhtiar untu
meningkatkan mutu perikehidupannya.
Sejarah peradaban pun telah membuktikan betapa besar pengaruh
perubahan penguasaan ketiga kemampuan dasar itu terhadap perkembangan
prestasi kecerdasan masyarakat yang bersangkutan. Daya ciptanya pun
makin mencuat melalui penemuan hal-ihwal ‘baru’ yang selanjutnya
berdampak terhadap peningkatan mutu perikehidupan warga masyarakat itu.
Demikianlah yang dapat kita saksikan manakala dalam suatu masyarakat
terjadi peralihan dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Tradisi lisan
sebagaimana terjadi dalam pengalihan dongeng, legenda, mitos, dan
sebagainya dari satu generasi ke generasi tentu mengalami perubahan,
bahkan mungkin perubahan yang distortif, karena bagaimanapun juga
sesuatu periwayatan yang pengalihannya berlangsung dari mulut ke mulut
tidak senantiasa terjamin sesuai dengan aslinya.
Lain halnya dengan periwayatan yang diteruskan sebagai tulisan dan
dialihkan sebagai bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahan bacaan demikian itu merupakan rekaman yang jauh lebih menjamin
dapat dipertahankanya keaslian muatanny. Tentu saja tulisan dan bahan
bacaan juga bisa mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah; sesuatu
naskah yang ditulis berdasarkan tradisi lisan bisa saja mengalami
perubahan, apalagi kalau suatu periwayatan kemudian ditulis oleh
beberapa orang penulis, sehingga terdapat beberapa varian atau versi
mengenai ihwal yang diriwayatkan. Namun sekali naskah tertulis itu
menemukan wujudnya, maka menetaplah jejaknya, terkecuali kalau rusak
dimakan zaman.
Demikian pula halnya dengan agama-agama yang tergolong sebagai ‘ahli
kitab’, yang sama artinya ‘keluarga atau kelompok yang memiliki kitab’,
d.h.i. kitab suci. Sulit dibayangkan bagaimana sesuatu ajaran agama
dapat dilanjutkan antar generasi tanpa pelestarian melalui kitab
sucinya, melainkan sekedar diandalkan pada periwayatan lisan dari satu
generasi penganutnya kepada generasi berikutnya. Tentu saja tulisan
sebagai jejak yang ditinggalkan manusia dalam perjalanan waktu bisa
berubah atau diubah. Akan tetapi dalam pengalihan antar generasi sebab
musabab terjadinya perubahan pada rekaman berupa tulisan tentu berbeda
dengan perubahan yang terjadi karena pengalihan penuturan secara lisan.
Studi-studi folklore dan fiologi dapat lebih memperjelas faktor-faktor
yang berpengaruh pada terjadinya perubahan-perubahan termaksud.
Menarik sekali bahwa dalam bahasa Arab, kata benda kitab yang
berarti buku, bertaut erat dengan kata kerja kataba yang artinya
menulis. Maka buku yang bermuatan bacaan hanya mungkin terwujud jika
ada yang menuliskan bahannya. Demikianlah kemampuan membaca dan menulis
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kemampuan ini bukan saja
meliputi pengenalan huruf sebagai elemen untuk menyusun kata dan
selanjutnya kata menjadi komponen untuk pembentukan kalimat, melainkan
juga pengenalan angka sebagai lambang yang berkaitan dengan kemungkinan
untuk melakukan kuantifikasi. Maka kemampuan ‘baca-tulis-hitung’ (yang
dalam lingkungan pendidikan di sekolah terkenal sebagai the 3-RS, yaitu
Reading, Writing, aRithmetic) sesungguhnya merupakan satu kemasan
kemampuan yang selalu diajarkan pada anak sejak dini, karena penguasaan
tiga kemampuan dasar itulah yang menjadi landasan bagi pengembangan
pengetahuan selanjutnya.
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia dapat ditunjuk beberapa
momen puncak yang dianggap sangat berpengaruh terhadap peri kehidupan
manusia selanjutnya. Termasuk dalam momen puncak itu ialah ditemukannya
sesuatu sistem perlambangan atau abjad untuk menuliskan segala ihwal
yang dianggap perlu untuk dilestarikan agar selanjutnya dapat disajikan
kepada khalayak pembaca (reading audience). Momen puncak lainnya ialah
tatkala ditemukan teknik cetak serta penjilidan yang memungkinkan
terbit dan beredarnya bacaan berupa buku. Sejak munculnya buku
sebagainya himpunan tulisan yang bisa diperbanyak jumlahnya dan dapat
diedarkan dalam lingkungan khalayak pembaca yang kian meluas, maka
meningkat pula laju proses pencerdasan dalam masyarakat yang
bersangkutan. Oleh peredaran buku masyarakat yang bersangkutan
dimungkinkan untuk menimba himpunan informasi perihal apa saja yang
tidak diketahui sebelumnya. Buku sebagai sumber informasi menjadikan
seseorang tidak lagi tergantung pada penuturan seseorang secara lisan.
Oleh makin banyaknya buku yang terbit dan beredar dalam suatu
masyarakat, maka timbullah keperluan untuk penyimpanannya dalam sistem
yang berbentuk perpustakaan. Kehadiran perpustakaan merupakan tuntutan
mutlak bagi tiap masyarakat yang ingin menjadikan warganya bukan saja
kaya informasi (well informed) dan terdidik baik (well educated),
melainkan makin bertambah kecanggihan wawasannya (sophisticated).
Untuk berdampak sedemikian itu perpustakaan harus menyediakan bahan
bacaan yang dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi
khalayak pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan tentu bukan saja
merupakan ‘penggudangan buku’, melainkan menjadi tempat penyimpanan
informasi, edukasi dan rekreasi. Ketiga kebutuhan ini dapat dilayani
oleh perpustakaan yang menyesuaikan koleksinya dengan minat khalayak
pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan suatu jenjang pendidikan (school
library, university library) tentu menyediakan buku dan bahan bacaan
yang berbeda dengan apa yang disimpan oleh perpustakaan umum (public
library); demikian juga perpustakaan suatu wilayah (provincial library)
menyediakan bahan pustaka yang berbeda dengan apa yang tersedia dalam
perpustakaan pedesaan (country library). Pendeknya, perpustakaan
sebaiknya dirancang sesuai dengan minat dan kepentingan khalayak dalam
kawasannya.
Keanekaan ciri daerha-daerah pemukiman di Indonesia denan sendirinya
perlu diperhatikan dalam persebaran perpustakaan; masyarakat perkotaan
tentu berbeda minatnya dengan masyarakat pedesaan, masyarakat desa
pegunungan tentu berbeda perhatian dan minatnya dengan masyarakat desa
pantai, dan begitu seterusnya. Maka manfaaat kehadiran perpustakaan
dalam suatu daerah hunian perlu memperhatikan apa yang ingin diperoleh
khalayak pembacanya sebagai sumber informasi, edukasi dan rekerasi.
Dengan demikian perpustakaan akan tetap memiliki daya tarik untuk
dikunjungi, dan dengan ramainya kunjungan ke perpustakaan itu
berkembang pula dalam masyarakat yang bersangkutan sikap positif
terhadap buku. Kehadiran perpustakaan bukan saja berrjasa dalam
menumbuhkan minat baca melainkan juga cinta buku.
Maka adanya prakarsa untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang
perlunya kehadiran perpustkaan dalam kawasannya. Banyaknkya kawasan
hunian baru yang dibangun oleh para pengembang tidak selalu disertai
pengadaan perpustakaan sebagai fasilitas umum. Jangankan di daerah
hunian yang sederhana, di kawasan yang tergolong mewah pun perpustakaan
sebagai fasilitas umum cenderung dilupakan penyediaannya. Jauh lebih
ditonjolkan sebagai keistimewaan adalah adanya shopping mall dan
berbagai fasilitas rekreasi ketimbang adanya perpustakaan yang bisa
melayai minat para penghuninya.
Dalam hubungan ini perlu disusun perencanaan yang menetapkan mana
kawasan pemukiman yang perlu diprioritaskan untuk pembangunan
perpustakaan, misalnya kawasan yang penduduknya kurang mampu untuk
menyediakan sendiri perpustakaan bagi warganya, seperti masyarakat di
kota kecil atau daerah pedesaan. Untuk beberapa kawasan juga dapat
dipertimbangkan sejauh mana efektifnya penyelenggaraan perpustakaan
keliling (mobile library) yang secara berkala berkunjung ke kawasan
pemukiman tertentu. Bahkan pada awal tahun 1990-an pernah dibahas
gagasan untuk menyelenggarakan perpustakaan terapung (floating library)
untuk berfungsi sebagai perpustakaan keliling di daerah kepulauan
(seperti di kepulauan Riau dan Maluku) serta sepanjang sungai-sungai
jalur lalulintas angkutan (seperti di Kalimantan).
Tentu saja berbagai kemungkinan tersebut sebaiknya didahului dengan
mempelajari apa yang menjadi minat dan kepentingan masyarakat setempat,
terutama yang berkenaan dengan usaha peningkatan kualitas kehidupan
warganya. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan pula penyediaan bahan
pustaka yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan warga
masyarakat yang bersangkutan, teruatama buku-buku yang merupakan
panduan ‘kerjakan sendiri’ (do it your self). Lebih baik lagi kalau
buku panduan demikian itu dipulih sesuai dengan kepentingan warga
masyarakat setempat untuk melakukan usaha yang dapat menambah sumber
penghasilan (income generating) atau dapat membuka lapangan kerja
(employment generating).
Selain buku-buku panduan ‘kerjakan sendiri’, tidak kalah pentingnya
ialah buku-buku yang bersifat informatif dan edukatif mengenai
kesehatan, kebersihan lingkungan hidup, bahaya pencemaran lingkungan,
dan bahan bacaan lain yang bisa berdampak positif bagi terjadinya
perubahan sikap dan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan
terhadap berbagai permasalahan aktual.
Perlu dicatat, bahwa perpustakaan masakini tidak hanya memiliki
koleksi buku-buku, melainkan juga berupa perangkat untuk penyajian
bahan melalui CD, VCD, CD-ROM, dan sebagainya sejalan dengan
perkembangan teknologi informasi. Demikian juga koleksi rekaman film
tentang flora dan fauna, dokumentasi sejarah, kelautan, kehutanan, dan
sebagainya. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, perpustakaan
juga bisa berfungsi lebih dari sekedar tempat simpan pinjam bahan
pustaka ditambah ruang baca belaka. Perpustakaan modern mestinya bisa
berfungsi bagi penyelenggaraan berbagai forum penerangan dan pembahasan
tentang masalah-masalah aktual, antara lain melalui penyelenggaraan
diskusi panel, seminar, simposium, lokakarya, dan sebagainya.
Perpustakaan juga dapat menyelenggarakan acara pameran buku, pemutaran
film, perkenalan dengan pengarang dan sastrawan nasional maupun lokal.
Melalui berbagai forum pembahasan itu niscaya dapat didorong
perkembangan berbagai pemikiran mengenai masalah-masalah aktual yang
diahadapi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kemungkinan swakelola perpustakaan oleh masyarakatnya sendiri perlu
dipertimbangkan, agar kehadiran dan fungsinya tidak terus-menerus
diandalkan pada dukungan sumber daya dari luar, misalnya dari kalangan
bisnis dan industri. Namun demikian, dukungan tersebut sebaiknya
ditujukan pada tumbuhnya kesanggupan swakelola perpustakaan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Kecenderungan untuk menggantungkan
eksistensi perpustakaan pada dukungan dari luar masyarakatnya perlu
diubah dengan menyadarkan masyarakat yang bersangkutan untukpada suatu
saat sanggup secara mandiri mengelola dan mempertahankan kehadiran
perpustakaannya demi peningkatan kecerdasan serta mutu perikehidupan
warganya. Swakelola perpustakaan bisa menjadi nyata apabila masyarakat
yang bersangkutan menyadari betapa perpustakaan dapat menjadi sumber
belajar dan pada gilirannya berperan sebagai agen perubahan bagi
segenap warganya.
Maka perlu dipikirkan berbagai cara agar perpustakaan dapat
dihadirkan di berbagai cara agar perpustakaan dapat dihadirkan di
berbagai kawasan pemukiman, terutama yang relatif tertinggal kondisi
peri kehidupan dan taraf kesejahteraan. Para pemuka masyarakat yang
bersangkutan dapat berusaha menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan
industri yang adakalanya menyisihkan sejumlah dana bagi pengembangan
komunitas (community development). Bahan pustaka juga bisa diperoleh
melalui kampanye pengumpulan sumbangan buku dan majalah dari perorangan
maupun lembaga swadaya masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan
tersedianya bahan pustaka dan dokumentasai yang dapat dikumpulkan dari
berbagai instansi, terutama bahan bacaan yang bersifat penyuluhan.
Dalam kerjasama dengan sekolah-sekolah dapat juga diusahakan pembuatan
clipping dari media cetak oleh para pelajar sebagai pekerjaan rumah
atau kegiatan ekstra kurikuler yang kemudian diteruskan sebagai
sumbangan bahan bacaan di perpustakaan pedesaan.
Pendeknya, banyak cara untuk berusaha menghimpun bahan bacaan yang
dapat dimanfaatkan oleh perputakaan pedesaan dan berbagai daerah hunian
yang oleh satu dan lain sebab agak terbelakang pendidikannuya.
Kehadiran perpustakaan di kawasan demikian itu niscaya besar dampaknya
yang bersifat edukatif. Dengan prakarsa tersebut makin meningkatlah
perebaran perpustakaan sebagai pusat pembelajaran dan sekaligus efektif
berperan sebagai agen perubahan, terutama di kawasan pemukiman yang
relatif tertinggal dalam usaha peningkatan kecerdasan serta perbaikan
perikehidupan warganya.
sumber naskah : hasan fuad
Comments
Post a Comment